Jauh sebelum negara Republik Indonesia merdeka,
masyarakat adat sudah hidup dan berinteraksi. Komunikasi, pendidikan, perdagangan
antar pulau, bahkan antar benua, sudah terjadi. Masyarakat adat dengan segala
keunikannya sangat mesra dengan alam. Alam masih menjadi kawan, sumber utama
hidup, sumber pendidikan, sumber budaya, bahkan sumber agama/kepercayaannya.
Paradigma tersebut dalam perjalannya berubah menjadi alam dianggap sebagai
tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri selain nilai instrumen
ekonomis bagi kepentingan ekonomi manusia.
Perundang-undangan
sejak awal sebenarnya sudah mulai memperhatikan masyarakat adat (UUD 1945 dan
UU no 5 tahun 1960), namun sangat lemah dalam pembuatan aturan teknis
implementasinya. Sampai hari ini belum ada Undang-Undang yang khusus tentang
Masyarakat Adat.
Demikian pula halnya di Kalimantan tengah. Wilayah adat komunitas adat
Tumbang Bahanei di Kabupaten Gunung Mas 100% diberikan kepada perusahaan kayu
dan 80% kepada dua perusahaan tambang (data tahun 2011). Dua hal diatas menjadi pola yang umum terjadi di seluruh Indonesia
terkait wilayah masyarakat adat.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas maka diaggap penting untuk
mendukung inisiatif yang telah dilaksanakan komunitas Sapundu Hantu di Desa
Sapundu Hantu, Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah
untuk memetakan wilayah adatnya. Memiliki kurang lebih 75 Kepala Keluarga. 95%
memeluk agama Kaharingan yang merupakan agama asli Dayak Kalimantan Tengah pada
umumnya. Mayoritas bekerja sebagai petani, peladang dan penoreh karet. Sebagian
kecil sebagai pemburu dan nelayan sungai. Mereka menyebut dirinya Dayak Kuhin.
Untuk tiba di Sapundu Hantu membutuhkan waktu 2 hari perlayanan melewati
jalan beraspal (Palangka Raya – Sampit – Rantau Pulut), jalan tanah merah
(Rantau Pulut – Tumbang Manjul yang jika
pada musim hujan akan menjadi sangat becek sehingga harus menggunakan spead
boat dan jalur sungai (Tumbang Manjul – Sapundu Hantu) mengunakan klotok
(perahu kecil bermesin).
Kedatangan pertama kali (Mei 2015) dengan tujuan melakukan sosialisasi
terkait hak-hak masyarakat adat dan pemetaan wilayah adat.
Hasil sosialisasi tersebut adalah komunitas Sapundu Hantu sepakat untuk
melakukan pemetaan wilayah adat dan akan melakukan kegiatan berikutnya yaitu
pelatihan pemetaan wilayah adat. Komunitas diharapkan untuk menyiapkan
pembiayaan dan pemuda pemudi yang akan
dilatih.
Bulan November 2015
kami kembali ke Sapundu Hantu untuk melaksanakan pelatihan. Kegiatan
berlangsung selama 5 hari yang diisi dengan materi dasar hukum pemetaan wilayah
adat, pengenalan peta dan peralatan
pemetaan dan pelatihan membuat peta manual. Peserta berjumlah 14 orang.
Di hari terakhir pelatihan, dibentuk tim pemetaan wilayah adat yang akan
bergerak untuk mengambil titik koordinat batas wilayah adat dan membuat peta
manual.
Untuk ke-3 kalinya kami datang pada bulan November 2016. Pengambilan
titik koordinat mengitari wilayah adat Sapundu Hantu telah selesai dilakukan.
Dan kami membantu pembuatan peta manual yang kemudian akan dibawa ke
kampung-kampung tetangga untuk meminta persetujuan terkait batas wilayah. Bulan
Juli 2017 kami kembali lagi ke Sapundu Hantu.
Kali ini kedatangan kami tidak lagi menggunakan dana pribadi dan dana
hasil urunan komunitas. Baik kami ataupun komunitas tidak memiliki uang lebih
untuk membiayai keberangkatan kali itu. Saya memberanikan diri untuk meminta
bantuan kepada Alumni PMK STT Telkom dan melalui KAWAN BERBAGI saya memperoleh dana untuk keberangkatan 2 orang.
Peta manual telah dibuat dengan baik oleh peserta pelatihan. Kami pun
membantu komunitas untuk meminta persetujuan batas wilayah adat dengan kampung
/ komunitas yang bersambitan. Yang didatangi adalah para petinggi adat dan
kepala desa yang bersangkutan.
Dari gambar di samping terlihat bahwa 100% wilayah adat Sapundu Hantu
telah diserahkan pada perusahaan logging.
Langkah yang harus dilaksanakan selanjutnya adalah :
1. Pembuatan tata kelola wilayah adat, termasuk kaitannya
dengan ruang hidup yang tentu saja tidak
dapat dibatasi oleh garis batas yang sudah dibuat.
2. Pembuatan peta digital mengikuti kaidah-kaidah
pembuatan peta standar nasional.
3. Musyawarah tingkat komunitas termasuk komunitas / kampung
tetangga terkait persetujuan batas wilayah adat.
4. Menyerahkan dokumen peta wilayah adat ke instansi
pemerintah dan adat di tingkatan kecamatan, kabupaten hingga nasional. Tujuannya
adalah agar ada pengakuan terhadap wilayah adat Sapundu Hantu.
Untuk kesemua proses tersebut membutuhkan biaya,
waktu, tenaga yang tidak sedikit. Dan untuk itu saya meminta bantuan dari
kawan-kawan sekalian.